Kamis, 11 Juni 2015

KRITERIA HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHAIF


MAKALAH AL-ISLAM
KRITERIA HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF

Oleh :
Zeddy Kurniawan (136411071)

KELAS 4D
DOSEN PEMBIMBING : Dr. H. Khadar M. Yusuf, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU

TP. 2014 - 2015


BAB  I  PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hadits atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.  Keduanya merupakan pedoman dan pengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadits belum dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Sesuai dengan sejarah perjalanan hadits, ternyata tidak semua yang disebut hadits itu benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Apalagi kita mengetahui hadits palsu itu memang ada. Benar bahwa tadinya, hadits itu segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang fungsinya sebagai rujukan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam. Selanjutnya, apa yang dinisbahkan kepada sahabat pun disebut hadits, bahkan, yang disandarkan kepada tabi’in. Maka persoalannya, mana hadits yang dapat diterima (maqbul) sebagai dalil agama karena “diduga keras” berasal dari Nabi Muhamad SAW. dan mana pula yang ditolak (mardud). Sekarang kita akan membicarakan tentang hadits-hadits yang mungkin dapat diterima dan mungkin ditolak informasinya.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang di maksud dengan hadits shahih ?
2.      Apa yang di maksud dengan hadits hasan ?
3.      Apa yang di maksud dengan hadits dha’if ?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Agar pembaca dapat mengetahui apa yang di maksud dengan hadits shahih.
2.      Agar pembaca dapat mengetahui apa yang di maksud dengan hadits hasan.
3.      Agar pembaca dapat mengetahui apa yang di maksud dengan hadits dha’if.



BAB  II  PEMBAHASAN
A.      Hadits Shahih
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadits sahih adalah hadits yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.[1]
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadits sahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat berikut;
1.      Haditsnya musnad
Musnad maksudnya hadis tersebut dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di depan.
2.      Sanadnya bersambung
bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung dari gurunya.
3.      Para rawi (periwayat)nya adil dan dhabith
Adil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah[2]. Dhabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadits dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadits dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya. Dhabith terbagi menjadi dua macam, yaitu;
a.         Dhabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati, maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna, sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya[3].
b.        Dhabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadits atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadits-hadits di dalam kitab-kitab lainnya.
4.      Tidak ada syadz (keganjilan)
Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadits dari periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadits syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
5.      Tidak ada ilah (cacat)
Di dalam hadits tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadits. Tentang hadits mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri[4].
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhadditsin tentang hadits shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadits shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadits dikatakan shahih, jika hadits tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke Rasulullah SAW. dinukil dari dan oleh orang yang ‘adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
          Dengan demikian apabila ada hadits yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq dan sebagainya, maka hadits tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadits, jika sebuah hadits memiliki illat maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
1.        Pembagian Hadits Shahih
Para ulama hadits membagi hadits shahih menjadi dua macam:
a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadits yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[5]
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadits hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadits maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadits shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.[6]
2.        Kedudukan Hadits Shahih
Kekuatan Hadits Shahih itu bertingkat seiring dengan bertingkatnya sifat kedhabitan dan keadilan rowinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadits yang bersanad Ashohhul Asanid. Imam Nawawi membagi shahih menjadi tujuh bagian:
a)      Hadits yang muttafaq ‘alaihi atau muttafaq ‘ala shihhatihi, yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua Imam hadits Bukhari dan Muslim, tentang sanadnya.
b)      Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam Muslim tidak meriwayatkan.
c)      Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhari tidak meriwayatkan.
d)     Hadits Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedang kedua Imam itu tidak mentakhrijkannya, yaitu bahwa rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kedua kitab shahih Bukhari dan Muslim.
e)      Hadits shahih menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri tidak mentakhrijkannya (mengeluarkannya).
f)       Hadits shahih menurut syarat Muslim, sedang beliau sendiri tidak mentakhrijkannya.
g)      Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim akan tetapi dishahihkan oleh imam-imam hadits yang lain. Misalnya hadits Ibnu Khuzaimah, AlHakim, dll.



B.       Hadits Hasan
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadits yang memenuhi syarat sebagai hadits sahih , hanya saja kualitas dhabith (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadits sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadits tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.

Menurut bahasa hasan sifat Musyabbahah dari “Al Husn” yang mempunyai arti “Al Jamal” (bagus), sedangkan secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam men-definisikannya karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara Hadits shahih dan dhaif, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.[7]
Hadits  hasan  adalah hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[8] Perbedaan antara hadits hasan dengan shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadits shahih dan dhabit yang kurang untuk hadits hasan.[9]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadits shahih. [10]
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadits merumuskan kriteria hadits hasan, kriterianya sama dengan hadits shahih, Hanya saja pada hadits hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadits shahih.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadits harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih
d.      Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadits yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[11]

1.      Pembagian Hadits Hasan
Hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.         Hadits hasan li dzatihi
Hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadits hasan, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.

b.        Hadits hasan li ghairihi
Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[12]
2.    Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadits hasan sebagaimana kedudukannya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal. Para ulama hadits dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadits hasan ini.[13]

C.      Hadits Dha’if

ما فقد شرطا من شروط الصحح و الحسنى

“Hadits Dha’if adalah hadits yang kehilangan salah satu syarat hadits shahih dan hasan.”
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis sahih)

Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan diatas, misalnya sanadnya ada yang terputus, diantara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadits hasan itu dapat naik tingkatannya menjadi Shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih, yaitu hadits yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama Hadits. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal berdusta. Kemudian, hadits ini dikuatkan oleh hadits yang sama melalui jalur lain.[14]
 Hadits yang dha’ifnya disebabkan oleh hal diatas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil fadha’ilul amal. Adapun hadits dha’if jenis lain tidak dibenarkan untuk dalil keagamaan karena kadar kedha’ifannya tinggi. Dha’if seperti ini juga tidak dapat naik derajatnya menjadi Hasan li ghairih.

1.      Jenis-Jenis Hadits Dha’if
·         Dha’if disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dha’if jenis ini di bagi lagi menjadi :
1.      Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq yaitu hadits yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak.
2.      Hadits Mursal
Hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan, ”Rasulullah SAW. bersabda begini atau berbuat seperti ini”[15].
3.      Hadits Munqathi'
Hadits munqathi’ menurut istilah para ulama hadits mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya  tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadits mutaakhkhirin adalah ”suatu hadits yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut” [16] 
4.      Hadits Mu'dhal
Hadits mu’dhal menurut istilah adalah “ hadits yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”[17].
5.       Hadits Mudallas
 Hadits Mudallas hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
a.       Tadlis Isnad, adalah hadits yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadits tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b.      Tadlis qath’i adalah apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadits seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c.       Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadits dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadits tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d.      Tadlis Taswiyah adalah apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadits shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e.       Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya.
f.       Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadits darinya dan lain sebagainya.
·         Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima, dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
1.      Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan, c)  berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan
2.      Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1)      Hadits Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[18]
2)      Hadits Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta.[19]
3)      Hadits Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[20] perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit, atau dengan pengetian hadits yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4)      Hadits Majhul
1)      Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya
2)      Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.
5)      Hadits Mubham
Hadits mubham yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.[21]
6)      Hadits Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[22].
7)      Hadits Maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8)      Hadits Mudraj
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9)      Hadits Mushahaf
Hadits Mushahaf adalah yang terdapat perbedaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.




BAB  III  PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian makalah yang penulis paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal.
1.        Hadits Shahih
  1. HadiTs shahih adalah hadits yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).
  2. Syarat-syarat hadits shahih antara lain:
1.      Muttashil sanadnya.
2.      Perawi-perawinya ‘adil.
3.      Perawi-perawinya dhabit.
4.      Yang diriwayatkan tidak syaz.
5.      yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).
  1. Hadis shahih terbagi atas dua:
1.      shahih lidzatihi
2.      shahih li ghairihi
2.      Hadis Hasan
  1. Hadits hasan  adalah hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang kedhabitannya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadits hasan :
1)      Sanad hadits harus bersambung.
2)      Perawinya ‘adil.
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih.
4)      Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadits yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
c.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
§    hasan li dzatihi
§    hasan li ghairi
d.      Hadits hasan sebagaimana kedudukan hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
3.      Hadis Dhaif
a.       Hadits dha’if adalah “hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.
b.      Ditinjau dari segi sebab-sebab kedha’ifannya, maka dapat dibagi kepada dua bahagian:
1.      Dha’if disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.      Mu’allaq
b.      Mursal
c.       Munqathi'
d.      Mu'dhal
e.       Mudallas
2.      Dha’if karena terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.      Maudhu'                      g. Mudhtharab
b.      Munkar                        h. Mudarraj
c.       Majhul                         i.  mu'allal
d.      Matruk                         j.  Musalsal
e.       Mubham                      k. Mukhtalith
f.        Syadz                           l.  mudha'af







DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Al Ma’arif, Bandung.
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in, Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, Mesir
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadits ad-Dhaif , Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadits(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadits, Bandung: Remaja Rosda Karya,     Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadits Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadits,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001



[1] Muqaddimah Ibni Sholah, h.11
[2] Nuzhat an-Nadhr, h.51
[3] Ibid
[4] Ibid, h.52
[5] Ahmad Umar Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis (t.d) h. 24
[6] Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah (t.d)h. 5
[7] Thahan, Mahmud, Ulumul Hadits (studi kompleksitas hadits Nabi), Terj. Zainul Muttaqin,
(Yoqjakarta: Titian Illahi Press,1997) hal 54
[8] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
[9] Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
[10] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
[11] Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
[12] Ibid., h. 230
[13] Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
[14] Ibid, h.89
[15] Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 134
[16] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 138
[17] ibid., h. 136-137
[18] Shubhi Shailih, op. cit., h. 263
[19] Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,(Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987) h. 262
[20] Ibid.,  h. 264
[21] Ibid., h. 300
[22] Ibid., h. 268
Makalah Al-Islam ║Kriteria Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if ║Zeddy Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar